BUDAYA - Karinding
Sejarah dan Perkembangan Karinding
Di zaman yang modern saat
ini banyak sekali kesenian-kesenian baru seperti tari modern dan
musik-musik modern yang merajai kesenian dalam bidangnya masing-masing di
dunia, tidak bias dipungkiri, segala sesuatu yang bersifat tradisional hampir
bisa dilupakan oleh khalayak, seperti alat musik tradisional yang akan penulis
bahas disini, alat musiknya bernama Karinding, Karinding adalah alat musik
perkusi yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah, bunyinya
yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia
mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya
digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini
dalam ritual atau upacara adat, maka tak heran jika sekarang pun karinding masih
digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Karinding telah ada bahkan sejak
enam abad yang lampau.
Karinding umumnya
berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak,
tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya karena ukuran ini sedikit banyak
akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi
tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan
getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga
bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri)
berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding
cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut
yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan
karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens.
Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi
oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan
lidah.
Material yang digunakan
untuk membuat karinding ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan
dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan
sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai
susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di
tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan
ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau.
Berikut adalah
beberapa definisi karinding yang telah dirumuskan,
1. Tim Penulisan Naskah
Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat (1977:75) menyebutkan, “karinding
merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah kawung atau bambu, cara
memainkannya dipegang oleh tangan kiri, ditempelkan ke mulut. Dalam hal ini
mulut sebagai resonator dan pengatur tinggi rendahnya nada. Pangkal karinding
dekat mulut dipukul-pukul oleh jari tangan kanan untuk menggetarkan lidah
getarnya (cecet ucing), sehingga terdengarlah suara alat musik tersebut.”
2. Enoch Atmadibrata dkk
(2006:114) menyebutkan, ”alat musik bernama karinding ini berbentuk lempenga
kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagain
tengahnya sehigga terlihat menjulur seperti lidah, yang apabila dipukul akan
bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya
bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulut yang berfungsi sebagai
resonator.”
3. R. A. Danadibrata
(2006:322) menyebutkan, “Karinding ialah nama alat pukul yang terbut dari bahan
mabu atau palapah kawung yang sangat tipis; karinding dibunyikan dengan cara
ditempekan ke bibir atas dan bawah seperti argol (alat musik yang berbunyi bila
ditiup dan dihisap sambil digeser-geser di antara bibir atas dan bawah seperti
makan jagung, sama seperti karinding dan harmonica) dan suara yang dihasilkan
dari hisapan dan hembusan rongga mulut; untuk menghasilkan tinggi rendahnya
nada ketika karinding sedang bergetar lidah getarnya karena hisapan tau
hembusan mulut, ujung karinding sebelah kanan dipukul pelan supaya bergetarnya
cepat atau lambat.”
4. Ensiklopedia Sunda
menyebutkan, “Karinding adalah alat bunyi-bunyian dalam karawitan Sunda yang
dibuat dari pelepah arena tau bambu, dibunyikan dengan pukulan jari tengah
dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan sebagai sarana
hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di kampung-kampung. Di daerah
Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai alat komunikasi waktu
mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah ketika sore hari saat
bersantai setelah bekerja, para gadis yang mendengarnya biasanya mendekati para
si penabuh alat itu.”
5. Buku Khazanah Seni
Pertunjukan Jawa Barat menyebutkan, “Karinding merupakan alat kesenian yang
terbuat dari pohon enau atau bambu. alat ini bentuknya kecil namun bunyinya
cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama seni pertunjukan
yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa karinding ini berbentuk
lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara
mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti lidah. Apabila
dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur
tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulutnya,
yang berfungsi sebagai resonator.”
6. Karinding memiliki dua
alternatif bahan baku yaitu bambu dan pelepah pohon aren atau kayu enau. Di
Tasikmalaya, penyebutan karinding hanya digunakan kepada karinding berbahan
baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut kareng. Saat ini penyebutkan kareng jarang ditemui, mungkin karena factor
kebiasaan pelafalan nama “karinding”. Jaap Kunts dalam buku Music in Java menebutkan, “Tasik district the jew’s harp is called karinding only when cut
from aren wood; when made from bamboo it is there called kareng,” Penggunaan bahan pelepah aren biasanya ada di
Cianjur dan Tasikmalaya, sementara itu bahan bambu biasanya di Ciwidey,
Bandung, Garut, dan Sumedang.
Peneliti
karinding, Giar Gardan tahun 2012 dalam karya skripsinya berjudulKelompok
Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat, mencatat ada dua klasifikasi
waditra karinding berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai waditra jenis ideophone dan aerophone. Jenis
aerophone adalah alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara,
sementara jenis ideophone adalah ragam alat musik yang
badannya sendiri merupakan sumber bunyinya. Karinding termasuk ke dalam jenis
ideophone karena karinding dapat berbunyi ketika cecet ucingbergetar
setelah ditabuh di bagian paneunggeulan. Semua bagian itu merupakan
kesatuan dari badan karinding sendiri. Masuk ke dalam jenis aerophone karena
karinding berbunyi menggunakan mulut sebagai resonator yang menghembuskan nafas
sehingga pengaturan suara bisa dikendalikan lewat hembusan nafas. Prinsip
pemikiran ini juga termuat dalam www.danmoi.com, “it is difficult to place the
jew’s harp in the system of musical instruments. On the other hand it is
classified as plucked idiophone, together with the musical clocks : the plucked
part of the instrument sounds itself. On the other hand, the jew’s harp belongs
to the aerophones.”
Sebagai
ideophone, Curt Sach dan Hornbostel mengungkapkan karinding termasuk ke dalam
waditra sejenis jew’s harp yang diklasifikasi ke dalam plucked
ideophone atau ideophone yang bergetar dengan cara dipetik.
Dalam plucked ideophone, terdapat kategori yang disebut lamellaphone,
yakni waditra yang menggunakan lamella elastik dalam bentuk frame sebagai
sumber bunyinya. Klasifikasi lainnya dicetuskan oleh David Reck yaitu sebagai
linguaphone karena karinding menggunakan rongga mulut dan lidah sebagai sarana
bunyinya.
Kehadiran
karinding di masyarakat Sunda tak jauh dari kebudayaan agaris dan kedekatan
mereka dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman
yang memberikan manfaat pada wajah budaya Indonesia karena digunakan dalam
kehidupan keseharian masyarakatnya dan bisa digunakan seluruh bagiannya.
Bahan-bahan
ini kemudian juga menjadi sumber daya yang melahirkan karya seni sebagai sarana
pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai
pandangan hidup, juga sebagai alat politik persahabatan antar bangsa. Beberapa
sesepuh juga ada yang berpendapat, bentuk karinding yang dibuat para pembuat
karinding awal terinspirasi dari alat bebunyian terbuat dari rumput berdaun
lebar yang lazim dimainkan anak-anak gembala.
Sulit dilacak
kapan pertama kali karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber
tertulis yang meyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu
tinjauan pernah dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa
Barat, Kawit, tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping
berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan
penduduk dari daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 –
5.000 SM) sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang
sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik
dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau
genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan
tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia
sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan,
perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.”
Biasanya
karinding itu dimainkan pada malam hari oleh orang-orang sambil menunggui
ladangnya di hutan atau di bukit-bukit, saling bersautan antara bukit yang satu
dan bukit lainnya. Alat ini ternyata bukan cuma menjadi pengusir sepi tapi juga
ternyata berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata
menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan hama
sehingga mereka menjauhi ladang pertanian.
Di kalangan
para pemuda Tatar Sunda, karinding juga populer sebagai alat musik pergaulan.
Dahulu, jika sang jejaka bertandang ke rumah sang gadis, ia akan
mendemonstrasikan permainan karinding untuk memikat sang gadis. Dalam hal
percintaan, karinding juga berkembang dengan kisah-kisah romantis dan
juga tragis dibelakangnya.
Catatan tertua
tentang alat musik karinding terdapat dalam naskah sunda berjudul
Pendakian Sri Anjyana, naskah ini terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna
yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A.Teeuw. Dalam naskah itu tertulis. Hurung
subang di hulueun - Kacapi di kajuaran - Kari(n)ding dip
ago sanding -Giringsing di pagulingan - Deung ka(m)puh
pamarungkutan yang artinya adalah Giwang bercahaya di ujung
kepala - Kecapi di dekat tempat tidur - Karinding dipago
sanding (palang dada) - Giringsing di atas tempat
tidur - Dan selimut.
Naskah ini
terdiri dari 24 lembar, sepertinya teks di dalamnya lengkap, termasuk kolofon
singkat yang ,menyatakan bahwa naskah ini ditulis pada bulan ke delapan, di
Mandalan Beutung Pamaringinan di Cisanti.
Mengenai ke
dua naskah kropak yang pada mulanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan
Nasional di Jakarta, Noorduyn (1971:151-152) yang mengemukakan bahwa naskah
tersebut adalah bagian dari, “himpunan kecil yang mencakup sekitar
empat puluh naskah daun Sunda yang ditulis dengan pola suku kata yang kini
dianggap sudah usang. Sebagian di antaranya mengangkat tema agama dan sastra
zaman pra-Islam. Dalam abad lalu (maksudnya abad ke sembilan belas)
naskah-naskah tersebut ditemukan di desa-desa pegunungan di Jawa Barat
tempat naskah-naskah itu disimpan sebagai warisan keramat dari masa silam. Pada
waktu itu, naskah-naskah itu tidak lagi menajdi bagian dari tradisi yang hidup
karena tiada seorang pun yang dapat membacanya, apa lagi memahami isinya. Dalam
naskah-naskah tersebut digunakan dua jenis aksara dan keduanya adalah anggota
rumpun aksara yang berasal dri India, yang digunakan di berbagai wilayah di
Indonesia. Salah satu di antaranya dituliskan khusus dengan tinta pada
daun nipah dan berkaitan erat dengan jenis aksara Jawa Kuna yang juga
dituliskan dengan tinta pada bahan yang sama. Jenis lainnya diterakan pada daun
lontar dan memperlihatkan banyak keistimewaannya sendiri, yang membuktikan
adanya perkembangan khas Sunda. Tahap-tahap awal pemakaian aksara
jenis ke dua ini diketahui dari beberapa prasasti di atas batu dan lempengan
tembaga.”
Disamping itu Tasikmalaya
sering menyebut dirinya sebagai daerah pertama kali karinding dibuat. Ini
diperkuat oleh kisah Jajaka Kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya.
Dalam syairnya “Karinding ti Citamiang” penyair Nazaruddin Azhar mengisahkan
kembali cerita yang dituturkan Oyon Noraharjo tentang Kalamanda. Nun
dahulu kala, lembur Citamiang, Pasir Mukti, ada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh.
Di kampung ini tersebutlah seorang jejaka gagah bernama Kalamanda
yang merupakan cucu dari Raja Kerajaan Tengah atau Galuh. Suatu waktu,
Kalamanda bertemu seorang mojang jelita yang seketika itu membuatnya jatuh
cinta. Gadis itu bernama Sekarwati.
Kalamanda
mencari cara untuk mendekati Sekarwati, yang konon telah membuat patah hati
ratusan pemuda yang berniat mendekatinya. Beragam aksi berbalut ketampanan dan
materi tak mampu meluluhkan sang gadis, mulai dari aksi jawara, menak, hingga
santri, tidak ada yang bisa meluluhkan hati si jelita, akhirnya setelah
berkonsultasi dengan sang kakek, Kalamanda bertapa, memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar diberikan jalan. Setelah tirakat, akhirnya ia mendapat petunjuk
untuk membuat sejenis alat musik yang suaranya mampu mencerminkan perasaan cintanya
yang dalam bagi sang pujaan. Setelah membuat beragam alat musik, akhirnya ia
menemukan alat yang mampu mewakili getar perasaannya kepada Sekarwati. Alat itu
sangat sederhana, terbuat dari pelepah kawung (aren) kering.
Ketika hari
beranjak malam, Kalamanda diam-diam mendekati jendela bilik Sekarwati dan
memainkan alat itu sepenuh cinta. Suaranya yang datang dari hati berhasil
menyentuh sanubari Sekarwati yang hampir terlelap tidur. Sekarwati pun
terpesona dan menerima pinangan Kalamanda dan mereka pun hidup bahagia
selamanya. Kalamanda menamai alat yang berhasil mencuri hati Sekarwati itu,
karinding, karena bentuknya yang mirip dengan kakarindingan,
sejenis binatang lucu yang biasa ada di sawah pada zaman dulu.
Kisah ini
dengan menambahkan jika karinding kemudian menjadi waditra simbol
perlawanan tradisi pingit yang ada di Tasikmalaya saat
itu. Pingit adalah tradisi yang dianggap sebagai suatu tradisi
kontra produktif bagi pergaulan masyarakat muda saat itu, di mana gadis yang
sudah beranjak dewasa tidak boleh pergi ke mana saja jika tidak ditemani oleh
orang tua atau saudaranya. Kisah asmara Kalamanda dan Sekarwangi yang
menginspirasi kaum muda lain di masa-masa selanjutnya untuk meniru apa yang
dilakukan Kalamanda adalah satu sisi pemberontakan anak muda terhadap tradisi
yang dianggap menghambat pergaulan kaum muda.
Karinding
sebagai alat musik penawan hati wanita juga muncul dalam kisah Ki Slenting sang
playboy. Kisah ini pernah dikisahkan Yoyo Dasriyo dalam artikel berjudul
“Karinding Menggelinding, Mengiring Ki Selenting” (Kompas Jawa Barat, 4/7).
Berbeda dengan kisah Kalamanda yang berakhir bahagia, kisah Ki Slentingan
berakhir tragis. Alkisah, dengan permainan karinding yang memukau, Ki Slenting
memikat banyak wanita. Karena moral yang bejat, Ki Slenting menjadikan para
wanita itu sebagai pelampiasan nafsu bejat dan melakukan tindakan tidak senonoh
yang mengakibatkan kemarahan warga. Akhir kisah, Ki Slenting mati dihakimi
warga yang merasa marah para wanita mereka dinodai sang playboy.
Dari kisah ini
kita bisa mengambil satu sirat bahwa budaya baru harus disertai pula dengan
kekuatan jiwa kaum yang mengusungnya. Baiklah tradisi pingitperlahan
pudar, namun jika kemudian tergantikan oleh suatu kecenderungan yang lebih
buruk, maka hasil yang tak kalah buruk akan menimpa mereka yang melakukan
kecenderungan ini. Seperti yang terjadi pada Ki Slenting.
Di Citamiang,
Tasikmalaya, karinding terus dikembangkan oleh Oyon Naroharjo.Bah Oyon
mengenal karinding dari sang ayah sejak ia masih sangat kecil. Bersama
kawan-kawan nya semasa Sekolah Rendah tahun 1940an bah Oyon memainkan
karinding sebagai alat permainannya. Semakin lama, Bah Oyon semakin
serius memainkan alat ini. Tahun 1955, ia pernah memainkan karinding bersama
grup keseniannya dalam pasanggiri seni antar Sekolah Rendah di Cikondang.
Sepuluh tahun
kemudian, Bah Oyon mendirikan grup karinding Sekar Komara Sunda. Grup
inilah yang kemudian secara serius tampil di berbagai acara seni dan
budaya dalam kurun waktu tiga puluh tahun kemudian. Empat panggung terakhir
yang diingat Bah Oyon adalah panggung di Hotel Preanger tahun 2001,
kolaborasi dengan grup kesenian Kabumi dari UPI pimpinan Gianjar Saribanon
tahun 2002, panggung kolaborasi karinding dengan jimbe, digerindo, kendang,
rebab, dan rain stick di Gedung Kesenian Tasikmalaya, serta
panggung terakhir Sekar Komara Sunda di sebuah acara akbar di Lapangan Gasibu
Bandung tanggal 3 Mei 2003. Setelah acara ini, Dinas Pariwisata Kabupaten
Tasikmalaya menjanjikan akan menampilkan Sekar Komara Sunda di Taman Mini
Indonesia Indah. Namun, entah mengapa janji ini tak juga terealisasikan. Yang
menarik adalah hubungan awal Sekar Komara Sunda dengan Kabumi UPI yang
sebenarnya sudah terjalin sejak 1999 ketika Kabumi datang ke Cineam untuk
penelitian karinding. Hubungan inilah yang menghasilkan pendokumentasian
kisah-kisah lisan tentang karinding terutama dari bah Oyon dan Bah
Karna (Alm).
Patut diakui
jika Sekar Komara Sunda berhasil membentuk regenerasi pemain karinding dengan
munculnya musisi-musisi karinding generasi yang muda dari Bah Oyon,
salah satunya adalah komunitas karinding yang dikembangkan Mang Sule.
Sekar Komara Sunda juga mengungkapkan nilai-nilai edukasi dan harmonisasi dalam
karinding. Alat musik dimainkan oleh beberapa orang, yang walau bermain dalam
nada berbeda, namun tetap menjaga harmonisasi sehingga suara yang dihasilkan
melaras. Harmonisasi dalam laras yang berbeda inilah inti dari kehidupan yang
harus dijunjung tinggi.
Tak penting bagi saya tentang
siapa yang pertama kali memainkan atau memperkenalkan alat musik ini, bagi saya
pribadi sebagai penulis hal yang terpenting adalah siapa yang bisa
mempertahankan dan terus melestarikan alat musik Karinding ini, dan memperteguh
persepsi khalayak bahwa Seni Budaya Karinding sebagai benteng kebudayaan asli
Indonesia dan diakui oleh Dunia. Seperti yang ada di dalam visi misi komunitas
BAKKAR.
Berikut ini adalah
orang-orang pencinta alat musik tradisional di Banten yang terbentuk dalam
komunitas yang bernama BAKKAR, Barak karinding (BAKKAR) adalah sebuah komunitas
yang melestarikan tentang Seni Budaya Karinding, Barak Karinding mulai merintis
komunitasnya ketika pertemuan antara Muklis, Rita, Jojo, dan Yopi dengan Ncek
Raruyukan di Balaraja. Muklis dan Rita mereka adalah seniman jalanan yang
sebelumnya berfokuskan pada kesenian bambu sejak tahun 2007. Berawal dari
kegemaran akan memainkan alat musik bambu yang disebut songsoe atau sebuah
bambu yang berdiameter 10 cm dengan panjang 60 cm dan diujung bambu dicungkil
membentuk huruf “V” dan di mainkan dengan ditiup tepat di bagian V nya.
Kemudian jojo dan yopi juga seniman jalanan dan sampai akhirnya mereka bertemu
dengan Ncek Raruyukan kemudian lahirlah karinding di Balaraja dibawa oleh
muklis dan rita dan bersama – sama dengan Ncek raruyukan dan ikut berpartisipasi
Jojo dan Yopi yang lahir pada tahun 2011 dan bercita – cita untuk melestarikan
seni budaya karinding.
Dalam hal ini Barak
kararinding menggunakan alat musik Tradisonal karinding yang dipadukan dengan
celempung, bambu air, gleger, song soe, goong tiup, jimbe, dan juga gitar,
puisi sebagai lantunan suara yang mengiringi musik, dan menggunakan teater
sebagai ilustrasi dari musik dan puisi, sehingga tercipta gaya musik yang
dinamakan Teater Musik Kontemporer.
Barak Karinding mulai
melakukan pementasan pada kegiatan – kegitan yang di selenggarakan oleh kampus
seperti acara festival dan acara ceremonial. Dari kampus – ke kampus kemudian
melakukan pementasan lagi pada acara – acara yang diselenggarakan oleh
komunitas sastra seperti sastra reboan di bulungan dan acara sastra lainnya.
Juga tak ketinggalan undangan manggung yang di selenggarakan oleh komunitas
musik seperti yang di selenggarakan oleh komunitas Slank, KPJ, dll.
Perkembangan Barak
Karinding dengan mengikuti undangan manggung dari kampus yang kemudian ke
komunitas – komunitas, akhirnya mendapatkan tempat yang di selenggarakan oleh
MPR/DPR dalam acara festival. Kemudian ke instansi – instansi sebagai pengiring
acara yang diselenggarakan oleh instansi, juga Mahkamah Konstitusi (MK) atau
Mahkamah Agung (MA) sebagai pengiring acara yang diselenggrakan oleh instansi
tersebut. kemudian festival di taman mini, acara kebudayaan di hambalang bogor,
acara di caffe – caffe dan yang paling hangat pada acara sastra di kaffe La
Tazza.
Dengan acara manggung
tersebut Barak Karinding menjadikan acara tersebut sebagai media untuk bisa
memeperkenalkan karinding kepada khalayak publik. Kemudian membuka kelas
karinding untuk anak SD, SMP, dan SMA sehingga besar harapan dari Barak
Karinding sebagai komunitas yang melestarikan agar karinding bisa berkembang
dan menjadi alat musik yang dicintai oleh masyarakat Indonesia secara umum,
juga masyarakat banten secara khusus sebagai bagian dari kebudayan yang harus
dijaga dan dilestarikan.
Berikut adalah hasil
dokumentasi terdahulu penulis tentang karinding di kampus UNTIRTA.
(Foto by Mohamad Viky Darmawan) |
(Foto by Mohamad Viky Darmawan) |
(Foto by Mohamad Viky Darmawan) Location : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
Sumber data :
Gardan, Giar.
2012. (Skripsi Jurusan Etnomusikologi). Kelompok Musik Karinding
Attack di Bandung Jawa Barat. Yogyakarta : Fakultas Seni Pertunjukan,
Institut Seni Indonesia
Hendrik A.P.,
Cace. 2009. (Skripsi Jurusan Karawitan). Karinding Ciramagirang di
desa Ciramagirang Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur, Suatu Tinjauan
Awal. Bandung : Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Kimung.
2011. Jurnal Karat, Karinding Attacks Ujungberung Rebels. Bandung
: Minor Books
Maulana, Dian
A. Q. 2010. (Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah). Perkembangan
Kesenian Karinding di Desa Sindang Pakuon Sumedang tahun 1970-2004 (Suatu
Tinjauan Sosial Budaya). Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas
Pendidikan Indonesia
Komunitas
BAKKAR Banten.
Keren
BalasHapusThx bro muklis hehe
Hapus